Politik Pendidikan Di Indonesia Pada masa Orba

A. Pendahuluan
              Pendidikan adalah upaya mengembangkan potensi-potensi manusiawi peserta didik baik
 potensi fisik potensi cipta, rasa, maupun karsanya, agar potensi itu menjadi nyata dan dapat
berfungsi  dalam perjalanan hidupnya. Dasar pendidikan adalah cita-cita kemanusiaan universal.
 Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan. organis, harmonis,
dinamis. guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Selanjutnya Landasan Pendidikan
diperlukan dalam dunia pendidikan khususnya di negara kita Indonesia, agar pendidikan yang
sedang berlangsung dinegara kita ini mempunyai pondasi atau pijakan yang sangat kuat karena pendidikan di setiap negara tidak sama.
Politik Pendidikan, yaitu studi ilmiah tentang aspek politik dalam seluruh kegiatan
 pendidikan. Bisa juga dikatakan studi ilmiah pendidikan tentang kebijaksanaan
 pendidikan. (Suhartono, 2008 :103)
Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa, landasan politik penting untuk melatih jiwa
 masyarakat, berbangsa dan bertanah air dan juga dapat dimaknai sebagai suatu studi untuk
 mengkritisi suatu system pemerintahan dan pemerintah yang bila memungkinkan melakukan
 penyimpangan amanat.
Budaya politik seseorang atau masyarakat sebenarnya berbanding lurus dengan tingkat
 pendidikan seseorang atau masyarakat. Hal itu bisa dipahami mengingat semakin tinggi
 kesempatan seseorang atau masyarakat mengenyam pendidikan, semakin tinggi pula
 seseorang atau masyarakat memiliki kesempatan membaca, membandingkan,
 mengevaluasi, sekaligus mengkritisi ruang idealitas dan realitas politik. Maka, kunci
 pendidikan politik masyarakat sebenarnya terletak pada politik pendidikan masyarakat.
Politik pendidikan yang dimaksud termanifestasikan dalam kebijakan-kebijakan strategis
pemerintah dalam bidang pendidikan. Politik pendidikan yang diharapkan tentunya
 politik pendidikan yang berpihak pada rakyat kecil atau miskin. Bagaimanapun, hingga
 hari ini masih banyak orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya
 sampai tingkat SD sekalipun. Masih banyak sekolah yang kekurangan fasilitas atau
bahkan tidak memiliki gedung yang representatif atau tak memiliki ruang belajar sama
 sekali. Masih banyak sekolah yang sangat kekurangan guru pengajar. Masih banyak pula
 guru (honorer) yang dibayar sangat rendah yang menyebabkan motivasi mengajarnya
 sangat rendah.
Dengan kondisi tersebut, bagaimana mungkin bangsa ini bisa berdiri sejajar dengan
 bangsa-bangsa lain yang kualitas pendidikan dan sumber daya manusia (SDM)-nya
 sudah lebih maju. Dalam konteks politik khususnya, dengan kondisi pendidikan seperti
itu, bagaimana mungkin agenda pendidikan politik bisa dilakukan dengan mulus dan
 menghasilkan kualitas budaya politik yang diharapkan. Maka, sangat jelas, agenda
pendidikan politik mensyaratkan agenda politik pendidikan yang memberikan seluas-
luasnya kepada seluruh rakyat untuk belajar atau mengenyam pendidikan, tanpa ada celah
diskriminatif sekecil apa pun, sebagaimana pesan Undang-Undang Dasar 1945.

B. Kebijakan Politik dalam Pendidikan
Dalam usia 63 tahun kemerdekaan Indonesia, dunia pendidikan kita tampaknya masih
 terpasung kepentingan politik praktis dan ambiguitas kekuasaan. Padahal, politik dan
kekuasaan suatu negara memegang kunci keberhasilan pendidikan.
Dalam konteks pembangunan demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia, peran politik
 eksekutif dan legislatif untuk memajukan pendidikan begitu besar. Ranah politik dan
 kekuasaan harus mampu mewujudkan sistem pendidikan yang mencerdaskan dan
 mencerahkan peradaban bangsa ini.
Tokoh liberalisme pendidikan asal Amerika Latin Paulo Freire pernah menegaskan
 bahwa bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan
 pembangunan pendidikan. Freire memandang politik pendidikan memiliki nilai penting
untuk menentukan kinerja pendidikan suatu negara.
Bangsa yang politik pendidikannya buruk, maka kinerja pendidikannya pun pasti buruk
. Sebaliknya, negara yang politik pendidikannya bagus, kinerja pendidikannya pun juga
akan bagus. Pertanyaannya kini, bagaimanakah realitas politik pendidikan kita saat ini?
Semenjak kemerdekaan sampai dengan era reformasi perjalanan politik pendidikan nasional
 telah mengalami tiga kali perubahan, yaitu di era orde lama, pada tahun 1954, di era orade baru,
dan sat ini di era reformasi.

C. Kebijakan pendidikan di era orde lama ditahun 1954.
Pada masa ini penekanan kebijakan pendidikan pada isu nasionalisasi dan ideologisasi.
 Penekanan pada kedua bidang tersebut tidak lain karena masa tersebut masa krusial pasca
 kemerdekaan dimana banyak konflik yang mengarah pada separatisme dan terjadi interplay
(tarik ulur) antara pihak yang sekuler dengan agamis.
Implikasi dari kebijakan politik pendidikan pada waktu itu adalah terbentuknya masyarakat yang
 berjiwa nasionalis dan berpatriot pancasila. Kebijakan politik tersebut sejatinya berupaya
 menjadi ”win-win solution” dengan mengakomodasi semua kepentingan. Di sini terjadi
 pengakuan terhadap keanekaragaman baik budaya, seni, maupun agama. Pada dasarnya upaya
membangun nasionalisme melalui pendidikan relatif berhasil, hanya saja kurang diimbangi
dengan kebijakan yang lain sehingga kemelut bernegara selalu ada di masa tersebut.

D. Kebijakan politik pendidikan nasional di era orde baru
Dengan dikeluarkannya undang-undang sistem pendidikan ditahun 1989. Berbeda dengan
 kebijakan di era orde lama, kebijakan di era orde baru memberi penekanan pada sentralisasi dan
birokratisasi.
Di masa ini jalur birokrasi sebagai sebuah kepanjangan tangan dari pusat sangat kental. Orang-
orang daerah didoktrin sedemikian rupa sehingga menjadi kader-kader yang ‘yes man’, selalu
 patuh buta terhadap kepentingan pusat. Akibat yang terjadi dari kebijakan ini adalah matinya
 daya kritis, daya kreatif dan daya inovatif, yang ada hanyalah birokrat yang “sendikho
 dhawuh”. Bahkan sistem pada masa ini berhasil membunuh idealisme. Orang-orang atau
cendekia yang idealis, kritis, dan inovatif tiba-tiba memble ketika masuk pada jalur birokrasi.
Disadari bahwa sistem pendidikan nasional pada masa itu sebab kuatnya intervensi kekuasaan
 sangat mewarnai di setiap aspek pendidikan. Dalam sistem pendidikan nasional pada masa orba,
muatan kurikulumnya sempat dimanfaatkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk
melanggengkan kekuasaan. Beberapa pelatihan di sekolah-sekolah atau instusi-institusi
pendidikan pada umumnya lebih mengenalkan indoktrinasi ideologi penguasa. Praktek penataran
P4  merupakan  salah satu bukti riil dari indoktrinasi ideologi penguasa pada waktu itu. (Mu’arif,
2008:13)
Di era ini pula terjadi penyeragaman-penyeragaman sehingga budaya daerah, seni daerah, dan
kearifan lokal mengalami nasib yang tragis, bahkan banyak yang telah mati. Yang tersisa
 hanyalah seni dan budaya yang sifatnya mondial. Bahkan istilah Bhinneka Tunggal Ika yang
sejatinya bermakna berbeda-beda tetapi satu jua telah dimaknai menjadi sesuatu entitas yang
 seragam, ya serba seragam.

E. Kebijakan politik pendidikan di era reformasi.
Kebijakan ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional N0
 20 tahun 2003. Di era reformasi ini penekanannya terletak pada desentralisasi dan
 demokratisasi. Kewenangan yang semula terletak di pusat dan berjalan secara top-down diubah
 dengan memberi kewenangan daerah yang lebih luas sehingga pola yang berjalan adalah
 bottom-up.
Regulasi yang relatif longgar di era reformasi ini ternyata belum memberi angin segar bagi dunia
pendidikan, bahkan banyak potensi untuk diselewengkan dengan mengambil dalih demokratisasi
 dan desentralisasi. Demokrasi telah menjadi kebebasan dan desentralisasi daerah telah menjadi
keangkuhan daerah.
Bahkan di era ini semakin jelas keterpurukan masyarakat miskin karena semakin sulit mengakses
pendidikan tinggi. Lebih dari itu implementasi kebijakan pendidikan yang demokratis dan
 mengedepankan potensi daerah semakin dinafikkan. Sistem evaluasi yang masih terpusat,
 kekerasan dalam pendidikan, dan banyaknya penyimpangan dalam proses pendidikan semakin
memberi catatan buram bagi pendidikan di era reformasi ini.
Kebijakan politik yang paling di sorot pada masa ini adalah kebijakan- kebijakan tentang
 otonomi daerah dalam bidang pendidikan, penerapan kurikulum yang berganti-ganti, hingga
 yang diterapkan saat ini yaitu kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan pro dan kontra
yang terjadi pada pelaksanaan Ujian Nasional.
       Otonomi Daerah dalam bidang pendidikan
Otonomi daerah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan, pada hakikatnya
ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih
 mendekati tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintah untuk mewujudkan cita-cita  masyarakat
yang lebih baik, suatu masyarakat yang lebih adil dan lebih sejahtera.
Desentralisasi bidang pendidikan dimulai dengan keluarnya UU No.22/1999 tentang Pemerintah
 Daerah dan kemudian ditindak lanjuti dengan PP No. 20 tentang Peribangan Keuangan Daerah
 yang di dalamnya mengatur tentang sektor-sektor yang didesentralisasikan dan yang tetap
menjadi urusan Pemerintah Pusat. Pendidikan termasuk salah satu sektor yang
 didesentralisasikan, sehingga sejak itu pendidikan terutama dari TK sampai dengan SMA
menjadi urusan kabupaten/kota. Sedangkan pendidikan tinggi menjadi urusan Pemerintah Pusat
dan Provinsi..
Sejak urusan pendidikan didesentralisasikan, signal-signal adanya banyak masalah baru sudah
 tampak. Diantaranya, adalah tarik menarik kepentingan untuk urusan guru serta saling lempar
 tanggung jawab untuk pembangunan gedung sekolah. Pengelolaan guru menjadi tarik menarik,
 karena jumlahnya yang banyak, sehingga banyak kepentingan politik maupun ekonomi yang
 bermain di dalamnya. Sedangkan pembangunan gedung sekolah, utamanya gedung SD menjadi
 lempar-lemparan tanggung jawab antara Pemerintah Pusat dan Pemda karena besarnya dana
 yang diperlukan untuk itu. Sementara, di lain pihak, baik Pemerintah Pusat maupun Pemda
 sama-sama mengeluh tidak memiliki dana.



Realitas Politik Pendidikan
Sampai saat ini, realitas politik pendidikan di negara kita masih belum sepenuhnya merdeka. Hal
 ini bisa kita lihat dari komitmen pemerintah yang masih rendah dalam mewujudkan akses dan
pemerataan pendidikan dasar yang bebas biaya, belum terpenuhinya anggaran pendidikan
sebesar 20%, kurangnya penghargaan terhadap profesionalisme dan kesejahteraan guru,
 rendahnya mutu dan daya saing pendidikan, upaya otonomi pendidikan yang masih setengah
 hati, dan sebagainya.
Pemerintah sebetulnya telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005–2009 dengan tiga
sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu meningkatnya perluasan dan
 pemerataan pendidikan, meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan, dan meningkatnya tata
 kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik.
Pemerintah Indonesia juga telah berupaya terus-menerus memberikan perhatian yang besar pada
 pembangunan pendidikan dalam rangka mencapai tujuan negara, yaitu mengusahakan dan
menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun dalam
 realitasnya, kita menyaksikan ternyata kebijakan dan praktik pendidikan kita masih jauh
panggang dari api.
Sampai saat ini dunia pendidikan kita juga masih dihadapkan pada tantangan besar untuk
mencerdaskan anak bangsa. Tantangan utama yang dihadapi di bidang pendidikan pada 2008
 adalah meningkatkan akses, pemerataan, dan kualitas pelayanan pendidikan, terutama pada
 jenjang pendidikan dasar, perbaikan kurikulum pendidikan, dan tuntutan profesionalisme dan
 kesejahteraan guru.
Pada saat yang sama, kesenjangan partisipasi pendidikan juga masih terjadi, terutama antara
 penduduk miskin dan penduduk kaya. Meskipun pemerintah telah menyediakan bantuan
operasional sekolah (BOS) untuk jenjang pendidikan dasar, masih ditemukan adanya beberapa
 sekolah yang masih menarik berbagai iuran, sehingga memberatkan orang tua, terutama bagi
keluarga miskin. Kesenjangan partisipasi pendidikan tersebut terlihat makin mencolok pada
jenjang pendidikan menengah dan pendidikan tinggi.
Selain itu, ada beberapa agenda yang perlu diperhatikan untuk menentukan arah dan masa depan
politik pendidikan, diantaranya adalah,  Pertama, Menghapus dikotomi dualisme
penyelenggaraan pendidikan. Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan secara demokratis
dan berkeadilan serta tidak diskriminatif. Pendidikan yang berada di bawah naungan Departemen
Pendidikan Nasional dan Departemen Agama harus berjalan seimbang dalam hal mutu, kualitas
 dan kemajuannya. Sehingga tidak ada lagi pandangan bahwa pendidikan keagamaan terkesan
tidak bermutu dan terbelakang.
Kedua, peningkatan anggaran pendidikan. Kita semua menyadari, bahwa untuk memajukan
dunia pendidikan nasional, pemenuhan alokasi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN
dan APBD adalah menjadi keniscayaan. Ini menjadi persoalan mendesak, jika kita betul-betul
serius ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan, UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) telah
mengamanahkannya.
Ketiga,  pembebasan biaya pendidikan dasar. Pemerintah dan pemerintah daerah harus punya
kemauan kuat untuk bisa membebaskan siswa dari biaya operasional pendidikan untuk tingkat
sekolah dasar. Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 secara tegas mengamanatkan, “Setiap warga negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Keempat, Perbaikan kurikulum pendidikan mesti diarahkan pada sistem terbuka dan
 multimakna
serta pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Karena itu, kurikulum
pendidikan harus mampu membentuk insan cerdas, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, dan
memiliki kebebasan mengembangkan potensi diri. Pendidikan juga mesti diselenggarakan
dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta
didik dalam proses pembelajarannya.
Kelima, penghargaan pada pendidik. Pemerintah harus lebih serius meningkatkan kualifikasi,
 profesionalisme dan kesejahteraan guru. Sebab, guru merupakan pilar utama pendidikan dan
 pembangunan bangsa. Tanpa guru yang profesional dan sejahtera, mustahil pendidikan kita akan
maju dan berdaya saing.

Penutup
Keberanian kaum pendidik meluruskan arah pemikiran  politisi tentang pendidikan sudah barang
 tentu merupakan terobosan besar, yang pada saatnya nanti diharapkan akan mampu melahirkan
 suatu budaya politik baru, budaya politik yang akan mendorong pelaku politik kita bertindak
jujur dan cerdas, atau paling tidak bersedia meredusir unsur-unsur hedonistis dan
mengoptimalkan watak humanistik-patriotik. Maka disinilah diperlukan paradigma baru terhadap
 pendidikan nasional, yaitu pada tingkat implementasi konseptual  sesuai dengan kebutuhan
bangsa Indonesia
Semoga kita secara bersama mampu memerdekakan politik pendidikan yang prospektif dan
menjanjikan kemajuan masa depan bangsa. Sehingga, cita-cita untuk menjadi bangsa besar yang
berperadaban tinggi mampu kita raih.





DAFTAR PUSTAKA
Chan, Sam M, Tuti T. Sam. 2006. Ananlisis SWOT. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hasbullah. 2006. Otonomi Pendidikan. Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap
 Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Mu’arif. 2008. Liberalisasi Pendidikan. Menggadaikan Kecerdasan Kehidupan Bangsa
. Yogyakarta : Pinus Book Publisher

Satmoko, Retno Sriningsih, 1999. Landasan Kependidikan. Pengantar ke arah Ilmu Pendidikan
Pancasila. Semarang : CV IKIP Semarang Press
Suhartono, Suparlan. 2008. Wawasan Pendidikan. Sebuah Pengantar Pendidikan. Yogyakarta :
 Ar-Ruzz Media.
Pidarta, Made. 2006. Landasan Kependidikan. Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.
 Jakarta : Rineka Cipta
Wahyudin, Dinn, D. Supriadi, Ishak Abdulhak. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Penerbit
Universitas Terbuka.